JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat meskipun harga pembangkit energi surya dan angin cenderung menurun dalam dekade terakhir. Energi terbarukan dinilai perlu mendapat dukungan lebih agar perkembangannya bisa terakselerasi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam peluncuran studi dan kalkulator Levelized Cost of Electricity (LCOE) dan Levelized Cost of Storage (LCOS) oleh IESR secara daring, Jumat (24/3/2023), mengatakan, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar, tetapi realisasinya belum sesuai harapan.
Merujuk data International Renewable Energy Agency (Irena), Fabby menuturkan, kapasitas energi terbarukan global bertambah 295 gigawatt (GW) pada 2022 atau meningkat 10 persen dari 2021. Dari jumlah itu, 141 GW disumbang Asia, terutama negara-negara seperti China dan India.
Sementara berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada penambahan kapasitas energi terbarukan sekitar 1 GW pada 2022.
Di sisi lain, harga pembangkit termal, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang dominan di Indonesia, cenderung stabil. ”Sementara pembangkit energi terbarukan harganya semakin turun. Dalam dekade terakhir, harga PLTS (surya) turun 90 persen dan PLTB (bayu) turun 80 persen,” kata Fabby.
Berdasarkan hasil analisis IESR, harga pembangkit energi terbarukan memang kian menurun dan kompetitif. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya LCOE (biaya listrik yang diratakan) terendah, yakni 4,1 sen per kilowatt jam (kWh). Disusul pembangkit listrik mini/mikro hidro (PLTMH) 4,9 sen per kWh dan PLTS 5,8 sen per kWh.
Namun, penghitungan biaya pembangkitan tersebut tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek. Dengan demikian, ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6 persen untuk PLTA skala menengah dan 18 persen untuk PLTS skala utilitas.
Fabby menilai, energi terbarukan selama ini dianaktirikan karena tidak mendapat subsidi dan mesti bersaing dengan harga energi fosil yang disubsidi. Hal itu menjadi salah satu alasan tidak berkembangnya energi terbarukan di Indonesia. Sebab, ada pada level of playing field yang tidak sama atau tidak setara.
Sementara itu, energi fosil seperti pada PLTU batubara, misalnya, murah karena mendapat subsidi untuk pengendalian harga. Batubara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO), untuk kelistrikan, dipatok 70 dollar AS per ton sehingga tidak akan terpengaruh gejolak harga komoditas.
Dengan adanya kalkulator LCOE dan LCOS, publik diharapkan dapat mengetahui harga energi listrik di Indonesia untuk masing-masing teknologi. ”Kami harap laporan ini tidak hanya membantu masyarakat, tetapi juga pembuat kebijakan untuk menyusun sistem ketenagalistrikan yang optimal. Energi dengan biaya terendah dan mendorong level of playing field untuk energi terbarukan,” katanya.
Managing Director Akuo Energy Indonesia Refi Kunaefi menuturkan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan yang baik, yakni Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, mekanisme review harga secara berkala perlu lebih jelas.
”Sebab, mungkin asumsi saat perpres dibuat tidak lagi relevan (dengan kondisi sekarang ataupun ke depan). Misalnya, saat ini interest rate (suku bunga) sedang tinggi-tingginya,” kata Refi.
Kepastian dan transparansi
Terkait risiko pengembangan energi terbarukan, imbuh Refi, pengembang mengharapkan kepastian (certainty) dan transparansi dalam pengadaan mengingat pasar (market) di Indonesia yang highly regulated. Dengan demikian, nantinya diharapkan seluruh bagian dari ekosistem dapat bergerak, tidak hanya pengembang.
”Dengan proses yang lebih terstruktur dan terencana, yang diuntungkan ialah offtaker dan pada akhirnya juga masyarakat karena harga listrik menjadi sangat kompetitif. Di kita sudah ada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030). Kalau ini dapat dieksekusi secara disiplin, termasuk kapan proses pengadaan dilakukan, akan menjadi milestone penting untuk pengembangan energi terbarukan,” ucapnya.
Baca juga: Pemasangan Panel Surya Atap Masih Terkendala
Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Mustaba Ari Suryoko mengatakan, Perpres No 112/2022 untuk mendukung percepatan energi terbarukan. Nantinya akan dilengkapi dengan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang saat ini tengah dibahas dengan DPR.
Sementara risiko pengembangan energi terbarukan di Indonesia antara lain terkait lahan, pendanaan, dan kesiapan sistem. ”Termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan yang tak bisa disamakan dengan negara-negara lain. Dengan perpres dan nantinya RUU EBET, diharapkan bisa merangkul seluruh pemangku kepentingan, khususnya di pemerintahan,” kata Ari.
Executive Vice President Perencanaan dan Enjiniring EBT PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Cita Dewi menuturkan, PLN menyambut baik menurunnya harga energi terbarukan. Sebab, dalam peralihan ke pembangkit energi terbarukan, salah satu yang diperlukan dalam implementasi adalah faktor keekonomian.
Namun, dalam upaya dekarbonisasi, PLN juga mesti melihat kondisi existing. ”Kami berkomitmen melakukan akselerasi implementasi energi terbarukan, tetapi juga harus melihat kondisi existing yang saat ini sudah memberi dampak komersial pada PLN. Kami sudah kontrak jangka panjang dengan investor-investor yang masuk. Ini yang harus kita lihat bagaimana tindak lanjutnya,” kata Cita.
Salah satu opsi yang dilakukan PLN adalah dengan terus mengembangkan cofiring atau penggunaan biomassa untuk bahan campuran batubara di PLTU. ”Saat ini, cofiring sudah diimplementasi di 47 lokasi dari rencana 52 lokasi PLN. Pelaksanaannya bertahap dan saat ini pun sudah berkontribusi dalam penurunan emisi karbon,” lanjutnya.